Wednesday, May 13, 2009

INTIFADOH! PERJUANGAN HEROIK BOCAH PALESTINA

Pagi yang cerah, kembali menghiasi langit Palestina. Menandakan semangat hari untuk kembali menerangi bumi yang sempat gelap. Kicauan damai burung pagi pun meramaikan suasana hari, seakan merindukan kedamaian yang kian mahal dan jarang dijumpai. Penduduk Palestina kembali melanjutkan aktivitasnya sehari-hari yang sempat terhenti, walau rasa was-was masih menghantui hati. Mereka masih semangat menjalankan hari dan aktivitasnya karena panggilan alam dan kehidupan mengharuskan mereka untuk melakukan hal yang demikian, karena kecamuk perang menjadi hal yang lumrah, selalu menghampiri mereka.
Pagi itu pun Muhammad al Dura, adiknya Ali al Asadi dan temannya Haidari kembali siap-siap untuk sekolah, mereka semangat untuk pergi dan gapai cita-cita, cita-cita yang tergantung di langit dan di atas awan yang sangat tinggi. Sebuah cita-cita yang bisa mengalahkan rintangan kekurangan materi dan rasa aman yang kian tipis digapai, mereka ingin melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Sungguh semangat yang tidak boleh luntur apalagi hilang, sebuah semangat yang sangat jarang, harus selalu dipupuk sebagai motor untuk menggapai masa depan. Mereka masih sekolah dasar, murid- murid mungil yang lugu, yang tidak kenal ketenangan dan rasa aman. Mereka dibesarkan dibawah penindasan dan moncong tank juga senapan tentara boneka pemerintah Israel yang tidak kenal kata perdamaain apalagi kata ampunan.
Sekolah mereka walau pun sudah rusak dan hampir roboh karena gempuran rudal nyasar (katanya!), masih mereka tinggali karena tidak ada tempat yang layak selain tempat itu. Alasan rudal nyasar, adalah sebuah alasan tentara Israel yang biasa dan sudah bosan untuk didengar, padahal dunia juga tahu, mereka banyak alasan dan untuk menggapai maksudnya mereka selalu menggunakan segala cara. Mereka tentara yang tidak memiliki hati nurani, hati nurani mereka hilang bersamaan dengan rudal dan peluru yang mereka muntahkan untuk menghancurkan bangunan dan meluluhlantakkan anak-anak kecil, perempuan-perempuan lemah juga masyarakat sipil tak berdosa.
Dua hari sebelumnya sekolah mereka masih utuh. Akan tetapi, kemarin rudal itu menghancurkan bangunan harapan mereka, tiga anak meninggal dan nyawa hilang sia-sia. Hari ini anak-anak itu masuk sekolah lagi walau tempat apa adanya. Mereka belajar diiringi rasa khawatir jangan-jangan rudal itu kembali datang dan entah giliran nyawa siapa lagi yang akan melayang hilang.
Usai sekolah Muhammad al Dura, adiknya, juga Haidari kembali beriringan pulang, karena rumah mereka tidaklah begitu berjauhan. Mereka begitu bersemangat, menceritakan kembali kisah yang mereka dengar dari gurunya barusan, sebuah kisah yang memacu semangat mereka untuk terus belajar dan berjuang membela kebenaran. Tentang pahlawan Islam di zaman Nabi, Ali Bin Abi Thalib yang berhasil menghancurkan Yahudi dan menjebol benteng Khaibar sendirian. Masih terngiang di telinga mereka akan kata-kata guru mereka untuk selalu meneriakkan yel-yel ”Khaibar-khaibar ya Yahud, jaisa Muhammad sa ya`ud” ( Ingatlah benteng Khaibar wahai Yahudi, karena tentara Muhammad akan kembali).
Di tengah perjalanan pulang mereka terlibat pembicaraan.
“Kalau tentala Islael menyelang kita, apa yang akan kita lakukan?” Kata Ali yang masih cadel bicaranya itu.
“Akan kita lawan dong, kita kan punya semangat Ali bin Abi Thalib. Kata pak guru Ahmad tadi kita harus punya semangat perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran, begitu kan Muhammad?” Kata Haidar.
“Ya, harus kita lawan, masa kita hanya diam dan rela membiarkan tanah air kita dirampas, al Quds masjid kebanggaan kita diinjak-injak, teman-teman kita kemarin dibantai, kita jangan hanya diam dan menjadi penonton, berusaha sebisa mungkin untuk melawan” jawab Muhammad bersemangat.
Ali kembali bertanya kepada kakaknya:” Tapi kak, kita tidak punya senjata apalagi tank, akan kita lawan dengan apa meIeka itu?
“Apa pun yang bisa kita gunakan sebagai senjata gunakanlah, batu pun boleh. Yang penting kita memberikan perlawanan dan bisa meyakinkan tentara-tentara biadab itu bahwa kita bukan hanya diam dan menerima perlakuan kejam mereka. Kita jangan patah semangat karena melihat persenjataan canggih mereka, karena semangat inilah merupakan senjata terampuh dan terkuat yang kita punya, dan semangat ini pula yang bisa melawan mereka!” Kata Muhammad, kembali menyemangati adiknya.
Haidari merogoh tas sekolahnya yang mulai kusam, dan sudah banyak sobeknya. Ia pun mengeluarkan dua buah ketapel sederhana, yang baru ia buat kemarin, untuk jaga-jaga katanya. Sambil menunjukkan hasil buatannya ia berkata: ” Ali, ambillah ketapel ini sebagai senjata, ketapel ini bisa untuk melemparkan batu cukup jauh asal kamu bisa menggunakannya.”
“Oh, telima kasih sekali.. Ajalin aku ya !” Jawab Ali manja, dan ia pun menerima ketapel itu dengan gembira.
Belum sempat Haidari mengajarkan Ali cara menggunakan ketapel pemberiannya itu, tiba-tiba teman satu sekolahnya datang dari arah depan dengan berjalan pincang karena pahanya terluka parah, tampak darah mengucur deras dari lubang yang menganga lumayan besar. Sebuah timah panas dari senjata tentara Zionis menembusnya. Ia berteriak minta tolong. Muhammad, Ali dan Haidari pun menghampirinya. Dan mereka berusaha mengangkat tubuh temannya itu yang mulai lemas kehilangan darah. Mereka pun berusaha untuk menghentikan kucuran darahnya yang terus mengalir.
Saat mereka berusaha menghentikan darah yang terus membanjiri tanah, tak tahu dari mana arahnya sebuah tank Israel menghancurkan bangunan persis di depan Muhammad Al Dura, dan ia pun berusaha menghindari reruntuhan bangunan yang akan roboh. Muhammad al Dura tahu bahwa tentara Israel sebentar lagi pasti datang ke arah mereka. Muhammad pun mengingatkan Haidari untuk bersiap-siap. Dan ia pun menyuruh adiknya Ali agar berlindung di belakang tubuhnya, agar adiknya bisa selamat dan tidak jadi korban peluru.
Muhammad terus melindungi adiknya sambil mengumpulkan batu yang akan ia jadikan sebagai senjata untuk ia lemparkan ke tentara Israel. Haidari pun berbuat hal yang sama. Teman mereka yang terluka parah tadi tak sempat mereka urus lagi, karena sibuk mengumpulkan batu yang banyak berserakan dari bekas bangunan tinggi dan kokoh yang sekarang tak berarti lagi.
Tentara Israel datang dengan angkuhnya, kesombongan mereka lebih keras dari kerasnya dentuman meriam mereka, ego dan hati mereka lebih kuat dari kuatnya tank mereka. Hanya kematian yang bisa menghentikan kesombongan dan ego mereka.
Ketika mereka melihat Muhammad dan Haidari mengumpulkan batu dan mengarahkan bidikan ketapel ke arah mereka, mereka geram dan berteriak marah penuh dendam. Menyuruh agar membuang batu dan ketapelnya sambil mengarahkan moncong tank dan mengokang pucuk senjata mereka tepat ke arah tubuh mungil Muhammad, adiknya dan Haidari. Tapi Muhammad dan Haidari tidak gentar, walau nafas tersengal, tercekik peluru panas yang siap menembus tubuh mereka. Alih-alih membuang batu dan ketapel mereka, malah mereka melemparkan batu dan mengarahkan ketapel- ketapel mereka ke arah tentara Israel dan tanknya.
Walau tidak mengenai tentara apalagi sampai menghancurkan kerasnya tank mereka, tapi ada sebuah kebanggaan bagi mereka, setidaknya mereka memiliki keberanian untuk melawan dan berusaha mempertahankan negerinya, dan memiliki semangat patriotisme demi Islam. Muhammad terus melemparkan batu-batu sebisa mungkin dengan semangat yang takkan pudar walau tank sekali pun yang menghadang dan mematahkan tangannya. Haidari pun tak mau kalah semangatnya, ia terus mengarahkan ketapel buatannya ke arah tentara Israel, dan terus menghabiskan batu yang kian habis. Akhirnya sebuah peluru menembus jantung Haidari dan menghentikan perlawanannya, ia pun terkapar tak berdaya, hanya bisa mengerang melepas nyawa berartinya demi negara dan agama tercintanya.
Tinggal Muhammad dan Ali al Asadi adiknya, tubuh Muhammad yang sedikit besar melindungi adiknya di belakang agar tidak terkena peluru. Tapi sial sebutir timah panas menembus tangannya dan ia pun sedikit terhuyung dan menjerit keras. Adiknya tak kuasa melihat kakaknya terluka, ia pun mengarahkan ketapel pemberian Haidari tadi ke arah tentara kejam Zionis walau belum bisa benar, tapi sebelum batu terlempar sebutir peluru sudah mengganjar tubuh lemahnya, dan ia pun langsung terjerembab, Muhammad pun bangkit berusaha menolong adiknya yang terlepas dari kawalannya, dan ia sangat menyesal ketika adiknya lepas dari kawalannya. Nyawa Ali sudah tak tertolong menyusul Haidari bertemu Tuhan, dan bertemu Ali bin Abi Thalib pahlawan pujaannya.
Sebelum melepaskan nyawa gapai nirwana, Ali sempat berbicara kepada kakaknya, “Kakak, sampaikan salamku sama ummah dan abah, bilang sama meleka aku belum belbuat banyak untuk Islam. Jangan sampai tentala Islael melebut tanah ail dan mengalahkan kita”.
Muhammad tak kuasa menahan tangis, dan luka di tangannya pun semakin mengiris, ia pun pingsan kehabisan darah..
Perlawanan bocah-ocah Palestina, sebuah perlawanan tak seimbang batu lawan tank, tapi semangat mereka takkan luntur, walau tank yang menggempur atau rudal sekalipun. Teruskan perjuangan kalian, yakinlah bahwa tentara Muhammad akan kembali menghancurkan Yahudi..
” Khaibar-khaibar ya Yahud, jaisa Muhammad sa ya`ud”
Simpe Ali
(090503)

No comments: